Friday, January 19, 2007

insomnia(3)

Sedang mengingat masa-masa kecil dengan kebudayaan yang berada di sekitar, dulu ketika kecil, ketika ada acara hajatan, entah itu pernikahan, khitanan ataupun acara 17-an masih sempat menikmati eloknya kebudayaan. Nuansa kebudayaannya masih kental, gue masih ingat dengan jelas, ketika itu ada acara pernikahan di RT, seperti acara pernikahan pada umumnya, biasanya resepsi dilakukan di siang hari, sedangkan malam hari adalah waktunya suguhan hiburan bagi masyarakat setempat, saat itu, untuk sekedar melihat hiburan, lapangan yang biasanya sepi bisa menjadi sebuah tempat yang sangat ramai, suguhan acara dimulai dari sambutan MC, keluarga yang memiliki acara, permainan tanjidor, lenong betawi dan diakhiri pemutaran film misbar (gerimis bubar) alias layar tancap :D.

Gue penikmat permainan musik, menyenangkan sekali melihat pemain memainkan berbagai alat musik, mungkin suaranya yang dihasilkan tidak terlalu memikat namun buat gue seni bermain alat musik itu menjadi daya tarik tersendiri. Sampai sekarangpun gue belum bisa bermain satupun alat musik, benar-benar hanya menjadi seorang penikmat permainan. Seperti apapun permainan tanjidor, baik atau buruk, menarik atau tidak, tetap saja merupakan sebuah kekayaan budaya yang memperkaya khasanah musik.

Tentang lenong betawi, ketika kecil dulu gue bisa tertawa lepas melihat aksi pemain lenong --mungkin karena masih kecil yak--, humor yang ditawarkan masih santun, terkadang ada juga nilai yang disampaikan, waktu itu sih yang gue ingat, nilai yang disampaikan dari acara tersebut, jika setelah menikah kemudian pasangan tersebut mempunyai anak, maka, it doesn't really matter whether your child is a girl or a boy, sesuai dengan himbauan pemerintah saat itu untuk menekan angka kelahiran. "Cukup dua anak, laki dan perempuan sama saja". Walau sekarang ada juga acara sejenis yang disebut lenong dan disiarkan melalui televisi, tapi rasanya kok beda, baik dari segi penyampaian maupun isi, kecenderungannya berisi celaan, canda yang tidak santun, gue menilainya sebagai miskin kreativitas, sensenya juga beda.

Mengenai layar tancap, well, hiburan yang satu ini kalo gue nilai sebagai acara pamungkas dari rangkaian suguhan hiburan. Untuk pemutaran film, biasanya waktu awal filmnya biasa-biasa aja, lalu beranjak ke tengah malam dan menjelang subuh baru deh film andalan dimainkan, sebenarnya gue kurang tahu mana film biasa dan andalan, definisi semua itu didasarkan paada desas-desus yang beredar sesama penonton :D, ada unsur psikologisnya juga.

Salah satu momen yang sangat berkesan adalah ketika menikmatinya, penikmat tentu saja tetangga dan warga sekitar, baik dari RT yang sama ataupun RT tetangga, terkadang entah orang darimana tahu-tahu ada di tempat itu :D. Cemilan yang ada juga merakyat, jagung dan kacang rebus, kue cucur, gemblong, bajigur, pisang dan ubi rebus. Biasanya gue menikmati setiap rangkaian hiburan bersama teman-teman dengan beralaskan koran, kongkow-kongkow, ketawa-ketiwi sambil makan cemilan :D, saat ini, pengalaman tersebut menurut gue sangat berkesan dan bernilai. Jauh lebih bernilai ketimbang menikmati film yang dimainkan di bioskop yang berada dalam mall dengan kursi empuk dan hawa dingin.

Saat ini gue merasa kesulitan untuk menemukan acara sejenis yang gue nikmati ketika masa kecil, mungkin di daerah lain masih ada. Sedangkan hiburan yang disuguhkan, sering sekali, kalo kebetulan ada acara pernikahan, lalu gue melewati tempatnya selepas beraktivitas di siang hari, biasanya acara yang disuguhkan adalah dangdut dengan penampilan sang biduan yang sedikit (?), cukup (?), sangat(?) seronok. Tak ketinggalan anak-anak kecil, ibu-ibu, bapak-bapak, muda-mudi tumpah ruah di sekitar panggung untuk menikmatinya, jika waktunya tiba, orang dewasa beraksi dengan berjoget. Botol-botol minumanpun berada di sekitar orang yang berkelompok.

Hmmm.. romantisme budaya.