Thursday, April 19, 2007

Wanita Boyolali

Ya, saat ini aku akan memanfaatkan waktu dengan lembaran karton hasil pemberian mbak yuniati, tadi setelah ia membeli beberapa potong asinan nenas dan kedondong aku memberanikan diri untuk meminta beberapa lembar karton yang terserak di sekitar bangunan yang dikhususkan untuk pengepakkan buku. Saat ini beberapa lembar sudah kugunting membentuk beberapa potongan hati dan kulekatkan dengan beberapa isolasi penempel, rencananya, setelah pekerjaan ini selesai nantinya akan kugabungkan dengan hiasan dari pipa minuman berwarna hijau yang kujalin sedemikian rupa sehingga berbentuk sulur tumbuhan merambat.

Sembari kulipat dan kulekatkan guntingan-guntingan ini aku kembali teringat adikku di Boyolali, masih kuingat isak tangisnya ketika aku pergi meninggalkannya menuju Ibu Kota, “mbakyu mau pergi ke Jakarta, supaya kamu bisa tetap sekolah, punya baju bagus dan mainan, terus bisa tetap bermain bersama teman-teman yang lain”, kataku, “kenapa harus ke Jakarta mbak ?”, selanya teriring ingus dan air mata, “katanya di sana banyak kesempatan untuk dapat pekerjaan, nanti punya banyak uang, dan seperti mbakyu bilang sebelumnya, supaya kamu bisa tetap sekolah, bisa beli baju dan bisa beli mainan”. Pikirku, sejauh apapun penjelasanku sepertinya adikku belum bisa mengerti. Dan, disinilah aku, Jakarta, saat ini aku sangat berharap agar lamaran pekerjaan sebagai buruh yang kuajukan di beberapa pabrik mendapatkan jawaban, tak terkecuali pabrik percetakkan yang berada di sebelah kedai. Kata mbak yuniati, karena saat ini pabrik percetakkan sedang berada dalam masa produksi, kemungkinan penambahan pekerja kontrak akan dilakukan, pekerjaannya bermacam-macam, tapi yang dikhususkan bagi wanita adalah penempelan sampul buku dan pengepakkan. besar harapanku agar diterima, setelah sebelumnya aku pernah bekerja di pabrik tekstil di Boyolali, saat ini pabrik tersebut ditutup, entah apa sebabnya.

Kurang lebih 1 bulan aku bekerja di kedai ini, bersama sami, sepupuku. Kedai milik kenalan bulik menjual berbagai macam penganan, mulai dari kopi, teh, mie seduh, gorengan, nasi campur, ketupat sayur sampai asinan. Kedai ini juga baru saja berjalan bersamaan dengan kehadiran kami di Jakarta, Bu Darni pemilik kedai ini cukup baik, bisa menerima kami sebagai penjaga kedai, sedari awal ia juga mengutarakan bahwa kami belum bisa mendapatkan upah bulanan, tapi ia berjanji, jika nantinya kedai ini ramai pembeli dan bisa berkembang kami akan mendapatkan upah bulanan, untuk saat ini, sebagai gantinya, Bu Darni memperbolehkan kami untuk makan di tempat ini, selain itu jika ada sisa makanan yang tidak terjual boleh kami bawa pulang ke rumah kontrakkan, bagiku semua hal ini lebih dari cukup untuk keadaan saat ini.

Walaupun bekerja sebagai penjaga kedai sangat membosankan, aku akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk keluarga di Boyolali, Ibu dan adik, uang yang Bapak hasilkan dari bekerja sebagai buruh bangunan di sini kurang mencukupi, hanya untuk makan keseharian dan bayar tagihan listrik, yang menjadi api penyemangatku adalah upaya untuk menyekolahkan toro, adikku, setidaknya sampai jenjang kejuruan. Saat ini ia duduk dibangku kelas 4 Sekolah Dasar, ia anak yang berprestasi, dengan segala kekurangan yang ada ia selalu berada pada rangking 3 besar di kelasnya, besar harapan pada adikku tersayang.

Ya!, sudah jadi rupanya, kubingkai 2 buah foto toro dalam figura kecil terpisah, foto yang dibuat ketika hari raya Idul Fitri kemarin, ia mengenakan kemeja lengan panjang tanpa kerah berwarna putih, tersemat sajadah di salah satu pundaknya, dan peci kecil di kepalanya, tak lupa senyum yang kuminta ketika akan difoto. Semuanya terhias dengan lambang hati tanda sayangku, tidak lupa untaian sulur plastik hijau, semoga rangkaian sederhana ini bisa menjadi penawar rasa rindu dikala jenuh.

Sunday, April 08, 2007

Kilat sambar pohon kanari

Sudah kurang lebih 3 minggu ini beta tinggal di Salerang, kota yang terkenal akan anyaman bambu dan keindahan sungai cisadane, rupanya itu cuman untuk masa lampau yang telah liwat, tidak untuk kurun waktu ini, lagipula sulit nian menikmati sungai cisadane dengan airnya yang terlihat keruh dan sarat dengan sampah. Dari segi bahasa beta juga tidak suka dengan kata Salerang, akhiran bahasanya itu loh, bikin rasa di hati jadi kurang sreg, “rang”, terdengar identik dengan kata gersang, kerontang, alhasil gambaran yang terbentuk jadi kacau-balau, ei.. setelah sedikit putar-putar di beberapa daerah itu punya tempat, ternyata tak jauh menyimpang dari yang dibayangkan, kesan asri dan rapih cuman ada di perumahan yang terbilang hanya mampu ditempati oleh manusia dengan rogohan kocek tebal, tak lain dan tak bukan, tempat-tempat lainnya terkesan berantakan dengan ragam manusia umum Mindonesia, miskin dan kumuh. Ditambah lagi dengan santernya hembusan berita tentang endemik flu burung, menjadi-jadi sajalah. Tapi tak selalu juga, ada saja hal-hal menarik yang mengaburkan kesan ketidaksukaan beta pada daerah itu. Apa mau ditanya ?, cita-cita, pengharapan & pencapaian butuh pengorbanan, begitu kata seorang kawan.

Seperti biasa, di akhir minggu beta harus pergi ke dataran yang lebih tinggi, naik bendi, bendinya macam-macam saja, ada yang ditarik dengan keledai, kuda, sampi dan kerbau. Lain padang lain ilalang, di daerah lain belum tentu punya binatang penarik seperti keledai, kuda, sampi ataupun kerbau, adalah yang menggunakan kambing, ayam, kura-kura bahkan ikan lele. Masing-masing punya tarip berbeda. Beta naik bendi kerbau, jalannya lambat kali, aih.., tapi tak apa, tak terburu, kapasitasnya juga cukup banyak, bisa lihat macam-macam wajah manusia. Sambil menikmati persawahan, jembatan batu, serta tiang pancang kota, tak lupa seniman dadakan yang selalu hadir mengisi hiburan perjalanan.

Kurang lebih 1.5 jam beta sampai di KudaMati, dimana tempat pemberhentian bendi yang cukup besar berada, tak seperti sebelumnya, beta biasa membunyikan lonceng tanda berhenti di pasar kuwali, rupanya kali ini si sais tak mengarahkan bendinya melewati tempat tersebut, tapi benar-benar langsung masuk ke stasiun pemberhentian bendi “KumpulSemua”, suasana riuh-ramai, banyak pula orang lalu-lalang dengan tujuan kota berbeda.

Dengan bawaan yang sedikit merepotkan, setidaknya jadi objek atau calon menjanjikan bagi pertanyaan calo dan kuli angkut sekitar stasiun, hmm.. sudah beta pikirkan antisipasinya, biasanya, jika beta datangi tempat tersebut dengan rencana bepergian entah kemana, selalu saja orang-orang tersebut berebut, sekiranya terucap tempat tujuan, mereka bersikap seolah membantu dengan langsung bawa barang-barang beta punya ke bendi tujuan, tanpa izin pula, kadang juga jadi sarana pengganti tarik tambang, tarik sana-tarik sini, tak nyamanlah jadinya, beta bisa menentukan pilihan sendiri. Benar saja, seketika turun dari bendi langsung saja ada yang menghampiri, orang pertama “bade kamana A ?”, ngga bang, ke situ, dekat saja, “Kamana A ?”, hmm.. memang dari awal terlanjur jumud dengan hal seperti ini, langsung saja beta katakan “Panakukang”, “Ooohh… “ jawabnya. Langsung diam. Lanjut orang berikutnya yang sudah menunggu dengan jarak kurang lebih 10 m, “Mau kemana Mas ?”, waduh.. ada lagi, “Panakukang mas”. Diam dan wajah bingung. Lanjut. Sekumpulan orang yang berdiri tak jauh dari tempat sebelumnya, seorang dari mereka langsung mendekat, lalu bertanya “Ose mau kemana ?”, langsung beta jawab “Panakukang”. Wajah plongak-plongok berbarengan makin menjadi. Haiya, rupa-rupanya berhasil, sebagai informasi, Panakukang adalah sebuah daerah di salah satu gugusan kepulauan Mindonesia, Kulawesi namanya, bahkan ke daerahnyapun belum pernah, cuman sering terdengar selintas, mudah diingat karena unik. Akhirnya, beta memilih bendi kecil dengan penarik kura-kura, duduk manislah di bawah atap jerami bersama penumpang lainnya, selang waktu tak lama si sais tua bertubuh kecil dan berkumis putih panjang menjuntai mendera sang kura-kura. Selama perjalanan, antara rasa berhasil dan melamun, lalu teringat ucapan salah seorang teman sewaktu menyantap hidangan malam bersama, karena ada momen tertentu dia ucapkan “Hmm kupikir ada sisi di hati tuan yang telah mati…”. Seandainya beta sebutkan kemana tujuan, dan mereka memang tidak ada kepentingan dengan tempat tersebut rasa-rasanya merekapun akan bergerak mundur dan tidak bertanya. Kata seorang tua, “cobalah melihat dari sudut pandang lain, mereka bekerja, cari nafkah, mungkin untuk diri sendiri, mungkin juga untuk keluarga yang menunggu, benar toh ?. Keadaan yang memaksa mereka berbuat demikian. Harusnya sadar. Jangan jadi manusia yang pendek pikiran dan hampa kebijaksanaan lantaran emosi sudah menggunung. sabar nyo..”, begitu katanya.

Kilat sambar.. pohon kenari....
Ejo jaro deng mongare...