Sunday, April 08, 2007

Kilat sambar pohon kanari

Sudah kurang lebih 3 minggu ini beta tinggal di Salerang, kota yang terkenal akan anyaman bambu dan keindahan sungai cisadane, rupanya itu cuman untuk masa lampau yang telah liwat, tidak untuk kurun waktu ini, lagipula sulit nian menikmati sungai cisadane dengan airnya yang terlihat keruh dan sarat dengan sampah. Dari segi bahasa beta juga tidak suka dengan kata Salerang, akhiran bahasanya itu loh, bikin rasa di hati jadi kurang sreg, “rang”, terdengar identik dengan kata gersang, kerontang, alhasil gambaran yang terbentuk jadi kacau-balau, ei.. setelah sedikit putar-putar di beberapa daerah itu punya tempat, ternyata tak jauh menyimpang dari yang dibayangkan, kesan asri dan rapih cuman ada di perumahan yang terbilang hanya mampu ditempati oleh manusia dengan rogohan kocek tebal, tak lain dan tak bukan, tempat-tempat lainnya terkesan berantakan dengan ragam manusia umum Mindonesia, miskin dan kumuh. Ditambah lagi dengan santernya hembusan berita tentang endemik flu burung, menjadi-jadi sajalah. Tapi tak selalu juga, ada saja hal-hal menarik yang mengaburkan kesan ketidaksukaan beta pada daerah itu. Apa mau ditanya ?, cita-cita, pengharapan & pencapaian butuh pengorbanan, begitu kata seorang kawan.

Seperti biasa, di akhir minggu beta harus pergi ke dataran yang lebih tinggi, naik bendi, bendinya macam-macam saja, ada yang ditarik dengan keledai, kuda, sampi dan kerbau. Lain padang lain ilalang, di daerah lain belum tentu punya binatang penarik seperti keledai, kuda, sampi ataupun kerbau, adalah yang menggunakan kambing, ayam, kura-kura bahkan ikan lele. Masing-masing punya tarip berbeda. Beta naik bendi kerbau, jalannya lambat kali, aih.., tapi tak apa, tak terburu, kapasitasnya juga cukup banyak, bisa lihat macam-macam wajah manusia. Sambil menikmati persawahan, jembatan batu, serta tiang pancang kota, tak lupa seniman dadakan yang selalu hadir mengisi hiburan perjalanan.

Kurang lebih 1.5 jam beta sampai di KudaMati, dimana tempat pemberhentian bendi yang cukup besar berada, tak seperti sebelumnya, beta biasa membunyikan lonceng tanda berhenti di pasar kuwali, rupanya kali ini si sais tak mengarahkan bendinya melewati tempat tersebut, tapi benar-benar langsung masuk ke stasiun pemberhentian bendi “KumpulSemua”, suasana riuh-ramai, banyak pula orang lalu-lalang dengan tujuan kota berbeda.

Dengan bawaan yang sedikit merepotkan, setidaknya jadi objek atau calon menjanjikan bagi pertanyaan calo dan kuli angkut sekitar stasiun, hmm.. sudah beta pikirkan antisipasinya, biasanya, jika beta datangi tempat tersebut dengan rencana bepergian entah kemana, selalu saja orang-orang tersebut berebut, sekiranya terucap tempat tujuan, mereka bersikap seolah membantu dengan langsung bawa barang-barang beta punya ke bendi tujuan, tanpa izin pula, kadang juga jadi sarana pengganti tarik tambang, tarik sana-tarik sini, tak nyamanlah jadinya, beta bisa menentukan pilihan sendiri. Benar saja, seketika turun dari bendi langsung saja ada yang menghampiri, orang pertama “bade kamana A ?”, ngga bang, ke situ, dekat saja, “Kamana A ?”, hmm.. memang dari awal terlanjur jumud dengan hal seperti ini, langsung saja beta katakan “Panakukang”, “Ooohh… “ jawabnya. Langsung diam. Lanjut orang berikutnya yang sudah menunggu dengan jarak kurang lebih 10 m, “Mau kemana Mas ?”, waduh.. ada lagi, “Panakukang mas”. Diam dan wajah bingung. Lanjut. Sekumpulan orang yang berdiri tak jauh dari tempat sebelumnya, seorang dari mereka langsung mendekat, lalu bertanya “Ose mau kemana ?”, langsung beta jawab “Panakukang”. Wajah plongak-plongok berbarengan makin menjadi. Haiya, rupa-rupanya berhasil, sebagai informasi, Panakukang adalah sebuah daerah di salah satu gugusan kepulauan Mindonesia, Kulawesi namanya, bahkan ke daerahnyapun belum pernah, cuman sering terdengar selintas, mudah diingat karena unik. Akhirnya, beta memilih bendi kecil dengan penarik kura-kura, duduk manislah di bawah atap jerami bersama penumpang lainnya, selang waktu tak lama si sais tua bertubuh kecil dan berkumis putih panjang menjuntai mendera sang kura-kura. Selama perjalanan, antara rasa berhasil dan melamun, lalu teringat ucapan salah seorang teman sewaktu menyantap hidangan malam bersama, karena ada momen tertentu dia ucapkan “Hmm kupikir ada sisi di hati tuan yang telah mati…”. Seandainya beta sebutkan kemana tujuan, dan mereka memang tidak ada kepentingan dengan tempat tersebut rasa-rasanya merekapun akan bergerak mundur dan tidak bertanya. Kata seorang tua, “cobalah melihat dari sudut pandang lain, mereka bekerja, cari nafkah, mungkin untuk diri sendiri, mungkin juga untuk keluarga yang menunggu, benar toh ?. Keadaan yang memaksa mereka berbuat demikian. Harusnya sadar. Jangan jadi manusia yang pendek pikiran dan hampa kebijaksanaan lantaran emosi sudah menggunung. sabar nyo..”, begitu katanya.

Kilat sambar.. pohon kenari....
Ejo jaro deng mongare...

2 comments:

Anonymous said...

Kura-kura????

Anonymous said...

ikan lele..